Powered By Blogger

Minggu, 07 Agustus 2011

Humor Rohani

ANAK POLOS                
Acara kebaktian di kelas kanak-kanak sudah berakhir. Sebelum kelas bubar guru hendak mengetahui seberapa mendalam anak-anak telah menyerap pelajaran Alkitab hari itu.                “Sekarang, siapa yang ingin bertemu dengan Bapa di surga, acungkan tangan tinggi-tinggi,” kata bu guru.                Hampir berbarengan seluruh kelas mengangkat tangan. Kecuali seorang anak laki-laki bernama Kames.                “Kames, apa kamu benar-benar tidak ingin bertemu Bapa di surga?” tanya bu guru.                “Maaf bu guru,” sahut Kames. “Saya tidak bisa, karena tadi pagi ibu saya berpesan untuk segera pulang ke rumah sehabis kebaktian, tidak boleh ke mana-mana!” [Kiriman: Wayne Rumambi, Laguna, California] 
(Pesan moral: Kebersahajaan dan kepolosan adalah sifat kanak-kanak yang Yesus jadikan sebagai “referensi” untuk ditiru oleh orang dewasa, kalau mau mewarisi kerajaan surga. Ironisnya, oleh mereka yang merasa “berpikirian canggih” kepolosan seperti ini sering diartikan sebagai kedunguan. “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik…dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh” Mzm. 1:1.) 
ANAK JUJUR                
Seorang nyonya yang sedang berbelanja di mal tidak mengetahui kalau tas tangannya hilang. Dia baru sadar ketika berada di depan kasir hendak membayar belanjaannya.                Pada saat yang genting itu sekonyong-konyong muncullah seorang bocah sambil membawa tas tersebut.                “Ini tas nyonya, tadi tertinggal di atas mobil di tempat parkir,” kata si bocah sembari menyodorkan tas itu.                “Aduh, anak baik! Saya baru ingat, tadi habis parkir tas ini saya letakkan di atas kap mobil,” tukas nyonya itu sambil menerimanya.                Dengan perasaan berbunga sang nyonya mengeluarkan dompet dari dalam tas itu. Dia berniat hendak memberi sedikit hadiah kepada anak yang jujur itu. Tapi hatinya sedikit terperanjat melihat isi dompetnya.               “Seingat saya uang satu juta rupiah dalam dompet ini semuanya pecahan seratus ribuan. Kenapa sekarang ada lima lembar pecahan duapuluh ribuan?” katanya heran.                “Tadi satu lembar sempat saya tukarkan,” tukas si bocah. “Soalnya, kemarin saya juga menemukan tas yang ketinggalan. Isinya juga uang besar semua. Karena tak ada uang kecil pemiliknya tidak memberi saya hadiah!” 
(Pesan moral: Perbuatan kebajikan seyogianya dilakukan tanpa pamrih dan bukan karena paksaan. Kebajikan haruslah menjadi bagian dari pola hidup setiap pengikut Kristus, tanpa harus diingat-ingatkan ataupun didorong-dorong. Tapi, jika perlu, “Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi” 1Tim. 6:18.) 
ANAK CERDAS                
Hari itu di rumah kakek si Budi sedang ada acara reuni keluarga. Banyak orang yang berkumpul, termasuk semua paman dan bibi si Budi, juga sepupu-sepupunya.                Sehabis makan kakek membagi-bagikan uang kepada semua cucunya yang telah bersekolah, sekaligus hendak menguji kalau mereka sudah bisa mengenali uang. Setiap kali kakek akan memegang selembar uang pecahan Rp 10.000 di tangan kiri dan Rp 20.000 di tangan kanan, lalu satu persatu semua cucunya disuruh memilih. Semua mengambil uang yang ada di tangan kanan.                Alangkah kecewanya kakek ketika menyodorkan pilihan yang sama kepada Budi, ternyata cucu berusia 8 tahun ini mengambil pecahan Rp 10.000. Karena penasaran, kakek memberinya kesempatan kedua kali, dan Budi kembali memilih pecahan Rp 10.000.                “Eh, Nunung, anak kamu ini bodoh atau belum diajari tentang uang?” tegur kakek kepada ibu si Budi. “Anak-anak lain pilih yang besar, Rp 20.000, dia saja yang pilih Rp 10.000!”                Untuk meyakinkan Nunung, anak perempuannya itu, kakek mendemonstrasikan sekali lagi. Dia memanggil Budi, mengulurkan uang Rp 20.000 dan Rp 10.000, dan lagi-lagi Budi meraih lembaran Rp 10.000.                Tidak puas sampai di situ, kakek melakukan hal itu di depan anak-anaknya yang lain, paman dan bibi si Budi yang semuanya ada tujuh orang. Setiap kali Budi selalu meraih lembaran Rp 10.000 dan mengabaikan uang pecahan Rp 20.000!                Dengan perasaan kesal Nunung menarik lengan Budi lalu membawanya ke kamar untuk diinterogasi.                “Budi, kamu ini bikin malu ibu saja. Apa kamu betul tidak tahu kalau uang Rp 20.000 itu lebih besar dari Rp 10.000? Kenapa kamu selalu pilih yang Rp 10.000?” desak ibunya.                Lalu, dengan tersenyum lebar sambil mengeluarkan segepok uang dari sakunya, Budi berkata:                “Lihat ini, bu! Kalau sejak pertama saya pilih yang Rp 20.000, apakah saya bisa kumpul uang Rp 10.000 sampai sepuluh kali?” 
(Pesan moral: Antara akal budi dengan akal bulus bedanya amat tipis, bahkan terkadang saling tumpang-tindih. Tergantung pada apa sasaran dan motivasinya. Kalau tidak jeli umat Tuhanpun bisa terjebak pada “kebenaran semu” karena alasan keadaan. Paham seperti ini pernah dikenal dengan istilah “situation ethics” yang mengagungkan reasoning (pertimbangan). “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati” Ams. 16:2.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar