Powered By Blogger

Minggu, 07 Agustus 2011

Humor Rohani

MENDIDIK ANAK-1                
 Setelah mengirim hadiah ulang tahun berupa seperangkat alat musik listrik kepada Kristian, keponakan laki-laki yang pekan lalu merayakan ulang tahun kesepuluh, paman Edo yang baru datang dari luar kota langsung datang berkunjung.              
  “Terimakasih untuk hadiah alat-alat musik itu,” sapa Kristian demi melihat pamannya datang.            
    “Kamu suka ya?”           
     “Pasti, paman.”           
     “Bagus,” kata pamannya bangga
. “Jadi kamu sudah tahu bagaimana memainkannya?”           
     “Oh, aku tidak memainkannya,” jawab Kristian polos.       
         “Kenapa?”         
       “Soalnya ada perjanjian dengan ibu dan ayah.”    
            “Perjanjian apa itu?”   
             “Ibu membayar aku Rp 1.000 tiap hari kalau aku tidak memainkannya pada siang hari. Ayah membayar aku Rp 5.000 seminggu kalau aku tidak memainkannya pada malam hari!” 

(Pesan moral: Banyak orang tua menyuap—dalam berbagai cara—agar anaknya melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu. Tidak heran kalau ‘budaya suap’ di mana-mana tumbuh subur. Dari sudut pandang pedagogis hal itu tentu saja merusak pembentukan hati nurani yang sehat dalam diri anak, malah tak jarang membuat anak-anak jadi apatis bahkan bersikap memberontak terhadap pengajaran orang tua mereka. “Sungguh…uang suap merusakkan hati” Pkh. 7:7.) *** 
MENDIDIK ANAK-2                
 Suatu hari ayah mengajak Kristian pergi memancing ke danau. Setelah dua jam berada di atas perahu motor yang bergoyang-goyang dimainkan ombak kecil, tiba-tiba anak itu jadi tertarik dengan alam sekitar.             
   Kristian bertanya kepada ayahnya,
 “Ayah, kenapa perahu motor ini bisa terapung?”          
      Ayahnya berpikir sebentar lalu menjawab,
“Wah, ayah tidak tahu persis.”         
       Anak itu kembali tenggelam dalam lamunannya. Tiba-tiba
, “Ikan-ikan yang ada di dalam air itu bernapasnya bagaimana, ayah?”            
    Sekali lagi sang ayah menjawab, “Ayah juga tidak tahu bagaimana.”             
   Beberapa saat kemudian anak itu bertanya lagi,
 “Kenapa langit warnanya biru, ayah?”          
      Lagi-lagi ayahnya menjawab, “Ayah juga tidak tahu kenapa begitu.”       
         Karena merasa telah mengganggu ayahnya yang sedang asyik memancing itu dengan pertanyaan-pertanyaannya, Kristian kemudian berkata, “Ayah, tidak apa-apa kalau aku tanya-tanya?”              
  “Tentu saja tidak apa-apa. Kalau kamu tidak suka bertanya, kamu tidak akan belajar apa-apa!” 
(Pesan moral: Semua orang tua ingin anaknya pintar, tapi banyak orang tua yang tidak mengerti bahwa ‘menjadi pintar’ itu sesungguhnya adalah sikap mental yang harus dimulai dan dipupuk dalam diri mereka sendiri—sebelum hal itu ditularkan kepada anak-anaknya. Orang tua yang arif selalu siap menjadi tempat bertanya anak-anaknya, karena itu dia sendiri harus banyak belajar. Orangtua yang pandai dan bijaksana masa tuanya terjamin, sebab “kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau” Ams. 2:11.) 
*** MENDIDIK ANAK-3                
 Hari Jumat pagi sebelum berangkat sekolah Kristian merengek-rengek minta uang jajan, tapi ibu tidak mengabulkannya.             
   “Siapa suruh kamu habiskan jatah uang jajanmu,” kata ibu ketus.
 “Kalau mau jajan cari uang sendiri sana!”             
   Sepulang dari sekolah, pada hari Senin, ibu memperhatikan Kristian datang sambil mengunyah cokelat kesukaannya.              
  “Wah, dapat dari mana cokelatnya?” tanya ibu menyelidik.              
  “Beli dari warung sebelah,” sahut Kristian datar.              
  Lho, bukannya uang jajan kamu sudah habis?”               
 “Ibu lupa ya kemarin kasih aku uang seribu rupiah waktu mau ke gereja?”             
   “Tapi uang itu ‘kan untuk dikasih ke gereja?” kata ibu dengan suara meninggi.             
   “Aku tahu, bu,” jawab Kristian lagi. “Tapi kemarin aku ketemu bapak pendeta di pintu, dan aku boleh masuk dengan gratis!” 
(Pesan moral: Banyak orang tua yang semberono dengan kata-kata yang mereka ucapkan kepada anak-anaknya, tanpa menyadari bahwa bagi seorang anak kecil setiap ucapan orang tua adalah “doktrin” yang harus dijalankan. Karena itu berkata-katalah pada tempatnya. ”Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” Ams. 25:11.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar