Powered By Blogger

Minggu, 07 Agustus 2011

Humor Rohani

CURIGA                
Di tengah perjalanan dengan keretapi seorang pemuda bertanya kepada seorang bapak yang duduk di depannya.                “Maaf, pak. Sudah jam berapa sekarang?” tanya pemuda itu dengan sopan.                Bapak itu menggeser koran yang sedang dibacanya, melihat ke arah pemuda itu dengan tatapan menyelidik. “Saya tidak akan menjawab pertanyaanmu,” sahutnya tegas.                “Lho, kenapa pak?”                “Sebab kalau saya jawab nanti kamu akan bertanya lagi tujuan saya ke mana, dan saya terpaksa akan menjawabnya lagi. Lalu, sebagai basa-basi saya tentu akan bertanya kamu hendak ke mana?”                “Selanjutnya pembicaraan akan terus berlangsung, seakan-akan kita sudah lama berkenalan. Dan waktu saya nanti turun di Yogyakarta kamu pasti akan turun di situ juga.”              
  “Di stasiun itu istri saya yang datang menjemput sudah menunggu. Lalu saya akan perkenalkan istri saya kepada kamu, dan tentu dia akan menawarkan tumpangan kepada kamu, bahkan mengajak kamu mampir di rumah saya yang pasti akan kamu terima tawarannya.”                “Sampai di rumah istri saya akan memperkenalkan kamu kepada anak gadis kami yang cantik. Pasti kamu bakal jatuh cinta kepadanya. Kemungkinan besar kamu akan melamarnya untuk menjadi istrimu.”                “Padahal, supaya kamu tahu, saya tidak rela putri saya satu-satunya yang cantik dan sekarang sedang kuliah di fakultas kedokteran itu dipersunting oleh pemuda seperti kamu yang jam tangan saja tidak mampu beli!” 
(Pesan moral: Kecurigaan melahirkan pikiran yang buruk, dan kecurigaan yang berlebihan menimbulkan angan-angan buruk yang berlebihan pula. “Hati-hatilah, supaya jangan timbul di dalam hatimu pikiran dursila…Mengapa kamu memikirkan hal-hal yang jahat di dalam hatimu?” Ul. 15:9; Mat. 9:4.) 
BERHARAP                
Seorang pria masuk ke dalam gereja yang sedang kosong karena tidak ada acara kebaktian. Begitu sampai di depan altar dia langsung bertelut dan berdoa.                “Tuhan, hidup saya penuh dengan dosa dan kesalahan. Tapi saya bertekad untuk mengubah hidup saya. Saya berjanji, Tuhan, kalau Engkau membuat saya menang lotere satu milyar saya akan setia datang ke gereja.”                Satu minggu berlalu tidak terjadi apa-apa. Pria pengangguran itu datang lagi ke gereja pada waktu yang sepi untuk berdoa.                “Tuhan,” pintanya, “kabulkanlah permohonan saya untuk menang lotere satu milyar. Saya berjanji dengan sungguh-sungguh hati akan masuk gereja setiap minggu.”                Lewat satu minggu keadaan masih sama, tidak terjadi apa-apa. Laki-laki itu datang lagi ke gereja untuk berbicara kepada Tuhan.                “Tuhan,” katanya dengan suara memelas sambil memandang ke langit-langit, “mengapa Tuhan belum mengabulkan permohonan hamba ini? Apakah Engkau menolakku?”               Tiba-tiba, entah bagaimana, sebuah suara menggelegar dari pengeras suara yang berkata:                “Anakku, aku tidak menolakmu. Tapi, setidaknya kamu harus ada usaha juga. Belilah dulu kupon lotere!” 
(Pesan moral: Tentu saja Tuhan tidak memenuhi permohonan umat-Nya dengan cara seperti itu. Doktrin mengajarkan “era et labora” atau berdoa dan berusaha, tapi kekayaan adalah karunia. “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya -- juga itu pun karunia Allah” Pkh. 5:18.) 
KAPAN                
Dalam sebuah diskusi umum yang melibatkan para rohaniwan antar-agama terjadilah perdebatan sengit soal kapan sebenarnya kehidupan seorang manusia itu dimulai.                “Saya tetap pada pendirian bahwa kehidupan dimulai pada saat terjadi pembuahan dalam rahim ibu,” tegas imam Katolik.                “Tidak, bukan begitu,” kilah pendeta Presbiterian. “Kehidupan dimulai saat bayi itu dilahirkan.”                “Menurut saya kehidupan terjadi di antaranya, yaitu duabelas minggu setelah pembuahan, saat jantung janin itu mulai berfungsi,” tukas pendeta gereja Baptis.                “Saya tidak sependapat dengan anda semua,” tiba-tiba seorang rabi angkat bicara. “Sudah jelas bahwa kehidupan dimulai saat anak itu meninggalkan rumah orangtuanya dengan membawa bagian warisannya!” 
(Pesan moral: Tergantung dari sudut mana menghitung hidup itu: biologis, fisiologis, psikologis, atau kronologis. Tapi itu semua adalah menghitung kehidupan yang fana. Lebih penting adalah kapan seseorang memulai kehidupan yang baka selagi berada dalam kehidupan yang fana. “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal” 1Ptr. 1:23.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar