Powered By Blogger

Minggu, 07 Agustus 2011

Humor Rohani

BAYAR HUTANG
Pak Sum, seorang pedagang buah, agak khawatir karena dagangannya belum banyak laku meskipun hari sudah menjelang sore. Maka ketika Bu Ani, tetangganya, lewat di depan jongkonya langsung saja dia menawarkan jualannya.“Beli duku, bu,” oceh Pak Sum.“Saya tidak bawa uang, Pak Sum” tampik Bu Ani. “Bayar belakangan juga boleh,” bujuk Pak Sum. “Dukunya manis-manis, boleh coba.”“Maaf, saya lagi puasa,” kata Bu Ani. “Puasa? Bulan puasa ‘kan sudah lebih dari empat bulan lewat?”“Betul, tapi waktu itu puasa saya tidak penuh, masih kurang dua hari. Sekarang baru saya bayar hutangnya,” terang Bu Ani. “Tapi kalau benar dukunya manis, dan boleh ngutang, saya mau ambil 3 kg.”“Maaf ya bu, saya tidak jadi kasih ngutang,” ujar Pak Sum. “Kalau ngutang sama Tuhan saja ibu menunggak sampai empat bulan lebih, apalagi sama saya!” 
(Pesan moral: Banyak orang yang dengan enteng dan tanpa segan-segan melanggar janjinya terhadap Tuhan, tapi takut berbuat demikian kepada manusia. Mungkin karena Tuhan itu dianggap berada “jauh” di sana. “Oleh karena hukuman terhadap perbuatan jahat tidak segera dilaksanakan, maka hati manusia penuh niat untuk berbuat jahat” Pkh. 8:11.)
TAK PUNYA MUSUH
Berkhotbah di jemaatnya yang kebanyakan memiliki latar belakang kehidupan yang keras, seorang pendeta bertanya siapa di antara mereka yang mau mengampuni musuh. Separuh dari hadirin mengacungkan tangan. Pendeta melanjutkan khotbahnya, menekankan bahwa orang Kristen sejati seyogianya bersedia mengampuni musuh mereka.Kemudian pendeta bertanya lagi siapa yang mau mengampuni musuh-musuhnya. Tiga perempat hadirin mengangkat tangan. Belum puas, pendeta meneruskan khotbahnya lalu bertanya untuk ketiga kalinya. Seluruh hadirin mengacungkan tangan—kecuali seorang bapak tua.“Pak Yadi,” tanya pendeta, “apakah bapak tidak bersedia mengampuni musuh bapak?”“Saya sama sekali tidak pernah punya musuh, pak pendeta,” sahut pak Yadi.“Wah, ini luar biasa. Bapak sekarang sudah berumur 86 tahun dan tidak pernah punya musuh,” ujar pendeta. “Maukah bapak datang ke depan untuk menceritakan rahasianya sampai setua ini tidak punya musuh?”Dengan tertatih-tatih Pak Yadi maju ke depan, diiringi ratusan pasang mata yang kagum sekaligus penuh tanda tanya. Begitu sampai di depan mikrofon bapak ini dengan tenang berkata:                “Saudara-saudara, rahasianya sederhana. Setiap musuh langsung saya habisi!” 
(Pesan moral: Pepatah lama mengatakan, “manusia adalah serigala bagi sesamanya” [homo homini lupus]. Sikap seperti ini, sayangnya, banyak juga terdapat di antara umat Tuhan. Setiap orang yang berbeda pendapat, atau tak mendukung ide dari orang-orang yang berpengaruh dalam gereja, langsung “dihabisi” tanpa sungkan. “Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia” 1Yoh. 3:15.)
MENYAMAR
Beberapa puluh tahun lalu ada dua orang pendeta separuh baya yang cukup terpandang dalam organisasi, dan terkenal dengan sikap dan pandangan-pandangan yang konservatif, diundang sebagai pembicara dalam seminar tentang bagaimana memelihara nilai-nilai Kristiani. Kebetulan acara seminar diadakan di Bali, maka mereka berencana tinggal 2-3 hari lebih lama untuk menikmati keindahan pulau dewata ini. Mereka membeli baju-baju santai yang khas, lengkap dengan topi dan kacamata hitam, lalu berbaur di sebuah lokasi pantai yang ketika itu tersohor oleh turis-turis mancanegara yang dengan bebas bergelimpangan di pasir. Mata mereka yang sigap dengan segera menangkap sesosok tubuh molek yang hanya dibalut secara sangat minimalis, berkacamata hitam dan mengenakan topi lebar.“Selamat sore, pendeta,” sapa wanita muda bersuara lirih itu sambil berlalu dengan langkah gemulai di depan mereka.Kedua pendeta bersahabat itu seakan tersengat lebah. Bagaimana sampai ada orang yang bisa mengenali mereka berdua? Saking terkejutnya mereka tidak sempat menyahut, apalagi bertanya siapa gerangan wanita muda itu.Keesokan paginya mereka kembali ke pantai. Kali ini mereka mengenakan baju yang lebih unik lagi, dengan gaya penampilan semakin casual supaya sulit dikenali. Demi merasa lebih aman mereka memilih lokasi yang agak jauh dari tempat kemarin.“Selamat pagi, pendeta,” sekonyong-konyong sebuah suara lembut menyapa dari samping. “Memang di sekitar sini pemandangannya lebih bagus dari yang kemarin.”Astaga-naga! Perempuan itu lagi. Berpakaian minim pula! Lalu, dengan gemulai yang sama si wanita hendak beringsut pergi.“Tunggu sebentar,” kata salah seorang. “Anda siapa? Bagaimana bisa tahu kalau kami ini pendeta?”“Kalian tidak mengenal saya?” balas wanita muda itu. “Saya ‘Mary’ dari kantor di Singapore. Saya juga datang keBali untuk acara seminar kemarin.” 
(Pesan moral: Adalah sebuah kenyataan bahwa mereka yang suka mengenakan topeng [baca: berpura-pura] adalah orang-orang dari golongan terhormat di masyarakat. Para pemimpin, pemuka, termasuk rohaniwan. “Di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan” Mat. 23:28.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar